Bangunan itu Bernama Sekolah


Dari sepenggal ingatan yang masih tersisa, lebih dari sepuluh tahun yang lalu bangunan itu ada di sana. Di salah satu desa bernama Banduroto, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Satu-satunya SD yang berdiri di sana (memang kondisinya seperti itu, masing-masing desa hanya memiliki 1 SD Negeri saja, dalam 1 kecamatan hanya ada 1 SMP dan SMA Negeri). Saat itu aku masih TK ketika menyadari ada bangunan tua berdiri di depan rumah nenekku.
"Itu apa Bu?" tanyaku saat itu.
"Itu SD," jawab Ibu.
"Kok gak ada muridnya? Lagi libur ya Bu?" tanyaku lagi.
"Ya."
Jawaban singkat dan aku percaya saat itu. Tapi sepanjang ingatan yang pernah aku ketahui. SD itu seperti tak pernah ada muridnya. Pikirku, mungkin libur. 

Pernah suatu waktu aku tidak masuk sekolah karna ada acara keluarga di rumah nenek. Saat itu jelas bukan hari libur. SD lain yang aku lewati di lain penuh dengan siswa siswi berseragam merah putih. Tapi kembali lagi. SD itu sunyi. Tak terdengar celoteh anak-anak yang sedang bermain. Tak terdengar suara guru yang sedang mengajar (Lokasi yang amat dekat dengan SD seharusnya memungkinkan mendengar semua aktifitas yang terjadi di sana). Mungkin liburnya beda, pikirku lagi.

Tahun demi tahun berlalu. Bangunan itu makin lama makin reyot. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya.. sunyi.

Beberapa tahun terakhir ini aku baru tahu kalau sudah lama sekali SD itu tidak memiliki siswa. Dulu, bukan tidak pernah ada siswa, ada tapi mereka pulang lebih awal. Bila dibandingkan dengan jadwal SDku dulu mungkin bagiku itu terlalu awal. Muridnya pun sedikit.
"Sampean saiki ngajar ndik ndi? - Kamu sekarang mengajar di mana?" tanya ibuku pada temannya.
"Laiki mulang ndik ngarepan iki - Mengajar di depan," jawabnya.
"Piye murid e? Okeh a? - bagaimana muridnya? Banyak?"
"Byuuuh.. aku iki lo sampe golek-golek murid lek sampean ngerti.- Aku ini sampe mencari-cari murid kalau kamu tahu."
"Yeh, mosok? Mosok ora onok blas? -Masa? Masa tidak ada sama sekali?"
"Yo onok. Saiki murid e wes onok .... (maaf saya lupa jumlah pastinya, seingat saya jumlah itu sangat amat sedikit, 20 siswa saja tidak ada). Tapi yo ngunu mbak, lak apene mulang ngunu leren golek murid e. Wes ngunu lak ajari ora pati ngreken. -Ya ada. Sekarang sudah ada xx. Tapi ya gitu mbak, kalo mau ngajar harus cari murid dulu."
"Ngunu iku yo kudu sabar. Lek gak ngunu yo arek-arek kene yo do ra sekolah terus. -Yang sabar saja. Kalo gak gitu anak-anak sini mungkin ya tidak sekolah terus."
"Iyo mbak, kene iki ancen bedo kok karo ndek kutho. Lak arek kutho ngunu sekolah kebutuhan. Lak kene yo ra. Angur ngarit timbang sekolah.- iya mbak, di sini memang beda dengan di kota. Kalo di kota gitu sekolah sudah jadi kebutuhan. Kalo di sini ya lain. Lebih baik mencari pakan ternak dari pada sekolah."

Itulah fakta yang terjadi di sudut kecil Malang Raya yang saat itu sudah punya titel "Kota Pelajar". Saat itu pendidikan sudah sangat berkembang. Masing-masing sekolah berlomba-lomba menghasilkan lulusan yang terbaik. Orang tua, guru, dan siswa semuanya saling membantu untuk meningkatkan kualitas sekolah. Semacam simbiosis mutualisme. Sekolah dapat nama. Orang tua dapat anak yang pintar. Siswa dapat fasilitas yang memadai. Sama-sama senang (walaupun sebenarnya perjuangan keras untukm melakukan siklus itu). Nyatanya tidak semua demikian. 

Bangunan tua itu adalah saksi bisu yang menjawab tentang masalah pendidikan di negeri ini. 

Alhamdulillah..
Perjuangan dari para guru untuk mencerdaskan anak-anak di desa itu tidak sia-sia. SD itu akhirnya mulai diperbaiki. Dan alhamdulillah, muridnya masih bertahan. Bahkan hari ini..
"Loh, sampean sekolah a, Le? - Loh, kamu sekolah, Nak?"
"Les, mbah. Ngantosi gurune niki mbah. - Menunggu gurunya ini mbah."

Setidaknya sekarang semangat untuk mencari ilmu itu sudah ada di dalam diri mereka. Dan semoga semangat itu terus ada. :)
Previous
Next Post »
0 Komentar