Do'akan keduanya, Donasikan untuk keduanya

Do'akan keduanya, Donasikan untuk keduanya
Berita tentang Gaza rupa-rupanya sudah makin santer terdengar di telinga. Sepertinya semua social media lagi heboh untuk membahas yang satu ini. Apa yang terjadi di sana memang benar-benar bisa membuat bulu kuduk berdiri. Betapa kejamnya Israel pada saudara-saudara kita di Palestina sana.

Heboh. Itu satu kata yang cocok untuk kondsi saat ini.
Semua orang sedang heboh bilang #PrayForGaza atau #ActForGaza (baca: mengumpulkan donasi untuk Gaza). Tak ada yang salah dengan hal itu. Benar-benar tidak ada yang salah. Kita kan gak bisa jihad di sana kan? Mengangkat senjata untuk agama juga beberapa di antara kita masih pikir dua kali. Jangankan senjata menjalankan apa yang sudah jelas-jelas tertulis di Al-Qur'an saja kadang masih enggan. Jadi menurut hemat saya, itu adalah cara paling mudah untuk (setidaknya) berbuat baik pada mereka.

Tapi...
Jangan dilupakan juga apa yang ada di sekitar kita. Jangan jauh-jauh ke Palestina deh. Indonesia kayak gimana? Atau kampung a.k.a lingkungan tempat tinggal kita.

Indonesia juga masih perlu banyak dido'akan. Supaya dapat pemimpin baru yang amanah. Supaya rakyatnya benar-benar sejahtera. Supaya agama benar-benar ditegakkan di negeri ini. 

Rakyat Indonesia juga masih banyak yang perlu dibina agar bisa mensejahterakan diri mereka sendiri. Yang miskin juga perlu dibantu. Yang gak bisa sekolah juga perlu di sekolahkan. Biar apa sih? Ya biar Indonesia gak gini-gini aja terus. Orang perlu ilmu untuk membuat perubahan, baik itu untuk dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya, bahkan untuk bangsanya.

Saya setuju dengan apa yang disampaikan Mamanya Azam dalam sinetron Para Pencari Tuhan Jilid 8 episode ke sekian. Dalam episode tersebut diceritakan bahwa Mama Azam sedang mengingatkan putra tercintanya.
"Jangan hanya menunggu fenomena besar. Tapi ingat juga fenomena-fenomena kecil di sekitar kita yang justru itu sangat penting."
"Lihat kampung kita! Banyak orang-orang yang kesulitan. Air bersih pun sulit. Bahkan anakmu saja sulit untuk mendapatkan air susu. Kenapa itu terjadi? Kita tengok kembali. Kampung kita ini dipimpin oleh orang-orang yang korup. Terlalu banyak ketidakjujuran terjadi di sini. Bahkan pembantu-pembantu kita pun demikian. Lihat masjid di kampung kita! Berapa banyak orang-orang yang sholat berjamaah di sana? Padahal dalam Islam sudah jelas, bila kita ingin melihat kualitas suatu umat, tengoklah bagaimana sholatnya."

Untuk #ACT kita gak perlu nunggu Gaza di bom berkali-kali sampai kehabisan obat-obatan dan lain sebagainya. #ACT itu justru bisa dimulai dari lingkungan sekitar kita. Membiasakan peduli dengan apa yang ada di sekitar. Landasannya apa? Ya kemanusiaan tentunya.

Mumpung lagi Ramadhan. Dimana semua amalan kita akan dilipat gandakan oleh Allah. Yuk, berlomba-lomba berbuat baik. Banyak ladang amal yang lagi dibuka lebar-lebar.

Gaza lagi perang. Yuk, dibantu. Kalo gak bisa ikut perang, kasi donasi. Kalo gak punya materi yang bisa didonasikan, yuk dido'akan. Semoga semuanya segera berakhir.

Indonesia yang lagi perang moral. Yuk, sama-sama dibantu. Sama-sama dido'akan. Semoga semuanya segera berakhir.

People Come and Go

People Come and Go
Selalu ada awal dan akhir dari setiap pertemuan. Secara harfiah, setiap orang akan menjalani sebuah proses interaksi dengan orang lain dan apabila interaksi itu berlanjut lebih dalam lagi akan menimbulkan suatu ikatan batin yang begitu kuat. Saya tidak menyebut ini adalah hubungan antara lawan jenis, antara 2 orang laki-laki dan perempuan yang saling menyukai satu sama lain. Karena perlu diakui juga hal ini bisa saja terjadi pada sejenis kita, tidak hanya pada 1 orang, tapi beberapa orang. Kita biasa menyebutnya dengan teman atau mungkin sahabat.

"Seperti sebuah tunas yang tumbuh berkembang, setelah tumbuh dewasa dan tua, pada akhirnya tunas itu juga akan mati."

Pertanyaan saya, apakah persahabatan itu bisa benar-benar abadi? Hingga maut memisahkan?
Sementara ketika kita bertemu orang-orang baru, dunia baru, mungkin saja kita akan melupakan mereka. Mereka yang dulunya tumbuh dan berkembang bersama.

Bila memang bisa bertahan lama, seberapa lama?

Mungkin yang tersisa hanya kenangan di mana kita tumbuh bersama. Dimana kita bercerita tentang hal-hal konyol, menangisi sesuatu yang mungkin itu sepele, tertawa bersama, saling mengejek satu sama lain, bertengkar, dll. Mungkin yang tersisa hanya itu, sebuah ingatan dimana semua tampak begitu indah, sekalipun kita pernah melalui hal-hal yang pahit.

Sahabat, atau siapa pun itu,Bila aku pergi atau kita berpisah, akankah kau mengingatku sebagai satu bagian penting dari hidupmu? Ataukah akan berlalu begitu saja seperti butiran debu yang tersapu oleh angin?

Mencintai dengan Cara yang Berbeda

Ingatan saya tiba pada kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Surabaya. Bukan lagi sebagai pelancong, tapi sebagai imigran yang dalam waktu 4 tahun akan menetap di kota ini. Selama beberapa bulan di depan saya masih belum merasakan kerasnya hidup dikosan. Saya masih tinggal dengan kakek saya. Makan terjamin, semuanya terjamin.

September 2009. Itulah kali pertama saya merasakan hidup ala anak kost. Saya memang tidak benar-benar serius mencari kost-kostan saat itu. Bagi saya, mau kost di mana saja akan sama. Berbekal informasi dari sepupu jauh saya, saya pun mulai mendatangi kost yang akan saya tempati. Tidak menunggu waktu lama untuk mengiyakan bahwa saya akan tinggal di sini. Kebetulan dari kamar mandi dan fasilitas-fasilitas yang ada di sini cukup memadai. Jadi tidak masalah lah.

Minggu pertama di kost baru. Rasanya ingin sekali menangis. Bagaimana tidak. Saya lupa membawa alat makan, sedangkan saya belum tahu benar di mana saya harus mencari makan di sekitar kost saya. Saya juga belum kenal dengan penghuni lama kost ini. Untungnya saya masih punya roti. Selama seminggu saya hanya makan roti untuk sahur, dan mengandalkan ta'jil di mushola kampus untuk berbuka puasa. Setiap kali saya makan roti di pagi hari, saya selalu meratapinya. Tapi ada sebuah tekad besar dalam hati saya yang menguatkan saya agar bertahan lebih lama dengan penderitaan ini. Tidak lama hingga akhirnya saya bisa pulang dan mengambil beberapa kebutuhan lain untuk kost.

Saya juga ingat benar, saat itu orang tuan saya sudah jarang sekali menghubungi saya. Hanya mengirimkan sms sesekali yang menanyakan apakah saya sudah sholat dan makan. Berbeda sekali dengan teman sekamar saya atau teman-teman kost saya yang lain. Ibu mereka bahkan bisa menelpon mereka 3 kali sehari. Dan di sanalah mereka berkeluh kesah layaknya anak kecil yang baru saja kehilangan mainannya. Saya hanya bertanya, kenapa ibu saya tak pernah menelpon saya? Ah, biarlah. Toh ini yang saya inginkan, hidup bebas tanpa ada kekangan dari mereka.

Lebaran pertama sebagai anak kost. Cerita baru tentang bulan ramadhan, Para Pencari Ta'jil pun dimulai. Seru sekali menceritakan pengalaman ini pada saudara-saudara saya. Sampai akhirnya mereka bertanya pada saya,"Ayah dan ibumu apa sering ke kost?" Saya jawab tidak. Bahkan orang tua saya yang ada di dekat saya menambahkan seperti ini. "Buat apa datang ke sana? Harusnya ya anak yang datang ke orang tuanya, bukan sebaliknya. Kalau mau ketemu orang tuanya ya biar pulang. Tidak ada cerita dia kangen terus kami harus pergi ke Surabaya." Ah, sadis sekali mereka.

Semakin lama tinggal di kost, semakin jarang pula mereka menanyakan kabar saya. Mereka baru menanyakan kabar saya ketika saya tidak pulang lebih dari seminggu. Itupun hanya lewat sms. "Lapo mbak?" Just it.

Agustus 2010. Itulah pertama kalinya saya sakit. Saya hanya kelelahan. Sudah hampir 2 bulan saya sibuk merancang kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru. Mungkin saya terlalu memberikan hati saya pada kegiatan ini terlalu besar. Hingga saat ada sesuatu yang tidak beres, rasanya hati saya terluka. Seiring berjalannya waktu, semakin besar pula luka yang ada di hati saya. Mungkin itu yang menyebabkan saya jatuh sakit. Dalam sakit saya, saya bertanya dalam hati, kemana mereka? Kenapa mereka tak kunjung datang? Saya butuh mereka. Pikiran-pikiran itu yang akhirnya memperburuk kondisi saya. Baru setelah saya masuk ke UGD, mereka datang. Lamaaa sekali.

Dari dulu saya punya pikiran bahwa mereka berbeda. Mereka lebih sayang pada adik saya, dibanding pada saya yang susah sekali diatur. Mereka lebih bangga pada anak tetangga yang notabene lebih pintar dibanding terhadap anak sendiri. Saya iri. Dan saya pun mulai sering bertanya dalam hati. Kenapa mereka lebih mirip dengan orang tua tiri di sinetron-sinetron dibandingkan sebagai orang tua kandung? Benarah saya anak mereka?

Hijrah saya ke Surabaya akhirnya membuka mata saya tentang mereka. Pikiran saya mulai terbuka. Ibu saya memang jarang sekali menanyakan kabar pada saya. Tapi hatinya selalu menangis saat mendengar suara kereta api. Dia masih mengingat saya.

Selama ini, saya merasa saya bukanlah anak yang bisa dibanggakan. Saya hanya anak biasa bila dibandingkan dengan teman-teman saya yang lain. Tapi akhirnya saya tahu, sekecil apapun yang saya dapat. Mereka selalu bangga pada saya. Mereka hanya tidak menunjukkan itu.

Saat saya sakit, kenapa mereka begitu lama datang? Saya kesal dengan mereka yang tak kunjung datang. Akhirnya saya tau, mereka pun tak tenang berada di rumah saat itu. Mereka mengusahakan segala cara agar mereka bisa datang secepatnya.

Saat saya mulai hampir putus asa dengan kuliah S2 saya yang mulai menjadi-jadi. Saat ituah untuk pertama kalinya, ibu saya memeluk saya, membelai kepala saya, menguatkan saya.

Mereka mencintai saya dengan cara mereka sendiri. Terkadang saya merasa tak adil, kadang saya merasa semua begitu salah hingga saya selalu punya alasan untuk membenci cara mereka. Tapi itulah cara mereka mendidik saya. Itulah cara mereka mencintai lebih. Ketika saya jatuh, bukan uluran tangan yang mereka sodorkan, tapi dari jauh mereka mengajarkan saya untuk bangkit dengan sendirinya. Mereka bahkan rela menahan perasaan rindu mereka yang begitu besar pada saya, agar saya benar-benar bisa berjalan dengan kaki saya. Tidak semua keinginan saya mereka turuti. Tapi saya tau bahwa mereka selalu mengusahakan yang terbaik untuk saya.

Terima kasih untuk Ayah dan Ibu terhebat di dunia. Tak banyak yang bisa saya berikan untukmu berdua. Semoga Allah selalu memberi rahmat dan hidayah-Nya pada kalian berdua. Amin.

Sebuah Ingatan

Sebuah Ingatan
"You may say I'm a dreamer. But I am NOT the only one," begitulah yang Pandji tuliskan dalam sebuah blog miliknya. Tulisan yang dipersembahkan kepada para relawan turuntangan. Dan entah kenapa tulisan itu mengingatkan saya pada suatu sore hujan lebat di depan Bank BNI Cabang ITS. Ingatan yang akhirnya mendorong saya untuk berhenti sejenak dengan proposal thesis yang sedang saya susun dan mulai menuliskan tulisan-tulisan ini.

Saat itu saya sedang bersama dengan kawan satu kampus saya, Rini namanya. Karena usianya yang lebih tua, saya biasa memanggilnya Mbak Rini. Saat itu saya bercerita tentang sebuah proses jatuh bangun yang sedang saya lalui. Dan saat itu, saya baru saya terjatuh dan seakan kehilangan segalanya yang sudah saya usahakan dari beberapa waktu sebelumnya. Saya masih ingat betul bagaimana dia berpesan,"kamu itu jangan terlalu ambisius Lel, jangan bermimpi terlalu tinggi, kalau gagal ntar kamu nangis loh."

Waktu itu rasanya seperti ditampar. Pikiran-pikiran lain masuk dalam otak saya, tapi saat itu saya hanya berkata,"dengan mimpi-mimpi ini aku merasa lebih hidup Mbak, aku punya tujuan hidup, aku tau kemana aku harus berjalan ataupun berlari."

"Ya tapi jangan terlalu gitu lah. Ntar sakit banget kalau ternyata gagal," begitu timpalnya, kemudian dia mulai bercerita sakit yang pernah dia rasakan ketika dia gagal dan akhirnya berhenti. Saya mendengarkannya dengan seksama. Batin saya pun mulai bergejolak. Haruskah saya berhenti saja? Haruskah saya menurunkan standart yang saya buat agar lebih realistis lagi? Saya tau betul di mana posisi saya dan di mana mimpi itu berada. Saya masih sangaaaat amat jauh dari sana. Bahkan sampai sekarang rasa-rasanya hampir tak mungkin untuk mencapainya. Saya tak punya cukup uang untuk mengambil shortcut dari perjalanan ini. Saya juga masih belum cukup pintar untuk mendapatkan golden ticket ke sana.

Selepas percakapan itu, otak dan hati saya mulai bergejolak. Apa yang harus saya lakukan? Benarkah yang selama ini saya lakukan? Sampai akhirnya saya mulai menyadari satu hal.
"Mungkin mimpi itu begitu mustahil untuk saya, mungkin juga saya harus benar-benar jatuh nanti hingga sakit yang luar biasa akan saya rasakan, mungkin saya akan merasa hampir putus asa, tapi saya memilih untuk terus berjalan dalam mimpi-mimpi yang sudah saya rajut. Biarlah Allah yang jadi penolong saya, yang membantu saya untuk bangkit kembali, yang menyembuhkan luka-luka saya ketika saya jatuh berkali-kali hingga sulit rasanya untuk berjalan kembali. Biarlah Allah yang menjadi pelipur lara saya, ketika saya tidak tau harus bercerita tentang pahitnya perjalanan ini atau bahagia ketika akhirnya kemudahan itu datang. Biarlah Allah saja, yang lain bisa datang dan pergi, tapi jangan yang satu itu."

Tanda Cinta dari Allah

Tanda Cinta dari Allah
Setiap muslim pasti tau sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebagai wujud cinta dari Allah, maka diturunkanlah Al Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi hamba-hamba-Nya.

Pada kesempatan kali ini, mumpung ingatan masih seger-segernya, saya ingin berbagi mengenai 3 ayat pertama dari surat Al-Fathihah.

Surat Al-Fathihah sendiri berarti pembukaan. Sama halnya dengan UUD 45 yang di awali dengan pembukaan. Al Quran pun juga begitu. Bila kita memahami bahwa intisari dari UUD 45 yang selama ini jadi dasar negara kita terkandung dalam pembukaannya. Begitu pula dengan Al-Quran. Kira-kira kalo Al-Quran itu diperes bener-bener dan diambil intisarinya, voila! jadilah Al-Fathihah. 

Analogi lain, buat orang-orang yang sering baca, atau bikin makalah ilmiah. Tentunya gak asing dengan yang namanya abstrak. Di dalam abstrak kita tau isi di dalam makalah tersebut secara garis besar. Tapi kalo pengen tau lebih dalam lagi. Ya, harus dibaca satu-satu, dipahami satu-satu. Gak ngerti artinya? Buka google translate, cari artinya. Gak ngerti istilah asing? Cari dibuku referensi lain.

Kata Pak Ustadz nih yaa. Baca surat Al-Fathihah itu sudah sama dengan membaca Al-Quran secara keseluruhan. Ya karena yang tadi itu, di dalam Al Fathihah sudah terkandung ayat-ayat Allah yang lain secara garis besar. Sekali lagi, SECARA GARIS BESAR.

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang"

Basmallah pada awal surat adalah bukti tanda cinta Allah pada hambanya. Sekarang gini, mengapa Allah disebut Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Karena kasih sayangnya pada hamba-hamba-Nya yang tak terbatas. Trus apa itu kasih sayang? Kasih sayang ya cinta. Mengapa orang mau mengasihi dan menyayangi orang lain? Ya, karna cintanya. Sama halnya kayak orang tua kita yang bilang gini ke kita: "Nak, ayah/ibu itu sayang sama kamu." Itu artinya orang tua kita pengen nunjukkin, pengen ngomong sejelas-jelasnya kalo mereka sayang sama kita, cinta sama kita. Begitu pula dengan kalimat basmallah. Allah ingin menyampaikan maksudnya secara gamblang kepada hamba-hamba-Nya. Betapa Allah mengasihi dan menyayangi kita. Hingga di setiap surat dalam Al-Quran (kecuali At Taubah) dimulakan dengan kalimat basmallah itu.

Trus kenapa sih dalam setiap perbuatan kita harus dimulakan dengan basmallah? Mau makan harus bismillah dulu, mau minum juga, mau tidur juga, sampe-sampe mau masuk WC aja harus bismillah dulu. 

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Kalimat basmallah adalah wujud cinta. Kita disuruh memulai segala sesuatu dengan basmallah ini agar kita mencintai segala sesuatu yang kita kerjakan. Sekarang gini, kalo kita udah seneng, atau cinta sama apa yang kita lakuin, sesulit apapun itu pasti bakal kita lakuin juga kan. Gak pake ngeluh, dan insyaAllah juga ikhlas dengan sepenuh hati.

"Love what you do, and let's begin with basmallah"


"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."

Dimulai dengan kata alhamdu yang berarti segala puji. Pada ayat ini, Allah ingin kita semua meniru sifat-sifat Allah. Dari ke-99 sifat Allah, adakah yang gak terpuji? Gak ada kan? Ya itu, Allah pingin kita memiliki sifat-sifat yang terpuji. Kenapa? Agar kita bahagia.

Salah satu contoh sifat terpuji adalah jujur. Kalo kita pengen bahagia. Jadilah orang yang jujur. Kalo misalnya kita pengen yg lain, coba aja dalam setiap perbuatan dan ucapan semuanya gak jujur. Trus rasain gimana efeknya.

"Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

Dalam ayat ini, Allah ingin menegaskan kembali apa itu kasih dan sayang. 
Pengasih artinya orang yang selalu memberi. Dalam hal ini, Allah ingin kita selalu berbagi dengan orang lain. Sedangkan penyayang artinya orang yang selalu menyayangi.

Sayang itu yang kayak gimana sih?
Misalnya nih ya, kita punya peliharaan yang kita sayangi. Kira-kira apa aja yang bakal kita lakuin buat peliharaan kita itu? Banyak kan? Mulai dari nyediain kandang yang nyaman buat dia, ngasih makan yang enak buat dia, kalo dia sakit kita tangisin. Ya gitu itu sayang. Rela nglakuin apa aja buat yang kita sayangi. Jadi, boleh dong kalo ditarik kesimpulan kayak gini..

"Sayang = rela berkorban"

Kata Pak Ustadz nih ya, bukan saya, saya cuma ngutip doang. Kalo Sang Kekasih bilang,"aku sayang kamu", tapi beberapa menit kemudian kita gak ngabarin dia trus dia tanya,"kamu kmana aja sih?". Itu artinya bukan sayang. Kalo dia sayang mestinya dia rela berkorban buat ngabarin duluan kan. Gak gengsi buat tanya kabar duluan. Bukannya malah protes atau nuntut ini itu.

Sayang artinya rela berkorban, bukan mengharap dari apa yang bisa orang lain berikan, tapi berpikir apa yang bisa kita berikan untuk orang lain.

Sekian pembahasan dari ketiga ayat dari surat Al Fathihah yang bisa saya sampaikan. Tiga ayat yang menjadi petunjuk sekaligus tanda cinta Allah untuk kita. Semoga bermanfaat. :)

"Sampaikanlah walau satu ayat"

Life Must Go On

Life Must Go On
It's time to run faster and faster. Don't feel your pain. You have to run, run, and run.

Berapa kali gue harus jatuh, jatuh, dan jatuh lagi? 
Berapa kali gue harus kecewa, kecewa, dan kecewa? 
Berapa kali gue harus kehilangan harapan?
Berapa kali gue harus nglepasin semuanya ketika gue hampir sampai?

Tapi gue harus tetep bangkit, gue harus tetep ngejar semua yang gue impiin, gue harus terus maju.
Seberapa keras gue harus terjatuh, gue gak boleh berhenti sampe sini aja.

Hidup gue masih harus tetep mengalir. Gue masih harus memperjuangkan hidup gue, orang-orang di sekitar gue, dan anak-anak gue nanti.

I Let You Go. Be Free

I Let You Go. Be Free
Full pressure. Semester gila dengan tugas yang tidak ada habisnya. Belum lagi progres thesis dan target-target lain yang harus aku kejar. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, aku masih sangat amat ingin bisa pergi ke luar negeri. Dan bagiku S2 ini adalah batu lompatan yang sangat amat bagus. Sampai akhirnya aku harus berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwa IPK yang di bawah target. Down, itu pasti. Tapi aku tidak mau terlalu lama berlarut dalam kesedihan. Aku hanya perlu bangkit dan berlari kembali.

Mimpi dan cinta adalah 2 hal yang sulit. Cinta itu sperti booster yang bisa mempercepat langkah tapi dia juga bisa menjadi penghambat terbesar. Dan kali ini aku berhadapan dengan yang kedua. Cinta sebagai penghambat. Aku ingin berlari tapi aku juga tak mampu mengalihkan perhatianku darinya. Aku ingin mengajaknya berlari kencang, tapi di lain sisi aku juga harus menuntunnya. Sulit. Bahkan visi kami pun berbeda. Sedangkan untuk meraih mimpi, aku butuh Speed and Focus.

Beberapa kali aku ingin melepasnya pergi. Tapi aku pun takut kehilangannya dan yang terjadi aku malah semakin terpuruk dengan penyesalan-penyesalan yang tiada habisnya. Sebuah keputusan besar yang akhirnya aku ambil adalah melepasnya pergi. Biarkan dia bebas seperti apa yang dia mau.

Banyak alasan, banyak sekali. Salah satunya, aku hanya ingin bisa fokus. Dan semoga setelah ini aku bisa mendapatkan apa yang aku mau.

Welcome to the new world!!
And good bye my dear.. :)

Kemudahan Di Balik Kesulitan

Kemudahan Di Balik Kesulitan
Gue masih inget bener masa-masa awal kuliah gue di semester ini. Masa dimana gue bener frustasi dengan semuanya. Frustasi dengan semua perubahan, frustasi dengan mimpi yang makin menjauh. Dan sejujurnya semua itu gak mudah buat gue.

Berat kalo gue pikul sendiri. Berat kalo cuma gue yang mendem semua rasa itu sendiri. Dan begitulah yang akhirnya dorong gue buat crita ke dia, ke Ibuk, dan tentu aja ke Dia Yang Maha Mendengar.

Support dari mereka yang bikin gue bisa sampai di posisi yang sekarang. Mulai nerima semuanya, ya karna memang ini yang harus gue jalani buat sampai di puncak gue.

Gak cuma itu, gue tau kalo semester ini berat. Beraaat banget. Lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Tapi bagi gue, ini juga semester yang ajaib. Karna entah gimana caranya, seakan-akan gue dituntun buat nglaluin semua kesulitan ini. Gue sama skali gak dibiarin buat putus asa. Saat gue butuh waktu buat ngerjain tugas kuliah, gue dikasih waktu. Waktu gue butuh temen buat ngilangin suntuk gue, gue dikasih temen. Dan disaat gue butuh support, gue dikasih hari dimana saat itu gue berdamai dengan Ibuk, gue dikasih support yang gak pernah Beliau tunjukkin selama ini. Gue dipeluk lamaaaa banget.
"Jangan nyerah, biarpun susah ini tetap harus dilalui kalo kamu mau sampai di puncak itu. Jangan lupa sholat malam. Karna cuma itu yang bisa bantu kamu,"begitulah yang Beliau katakan.

Hidup ini susah. Banyaaak banget ujiannya. Tapi akan lebih susah kalo kita lalui sendiri. Ngrasa kuat dengan kemampuan kita sendiri. Dan lupa kalo kita ini terlalu lemah untuk semua kuasa-Nya.

Yang ngasih susah itu Dia, dan kemudahan itu juga datang dari Dia.

Stand-Alone

Stand-Alone
Pernah gak lo berada di satu komunitas yang lo familiar banget sama orang-orang yang ada di dalamnya, kenal dengan orang-orang yang ada di dalamnya, bahkan temen-temen dekat lo ada di sana, tapi lo tetap merasa asing? Gue pernah. Tepatnya, ya sekarang ini yang lagi gue rasain.

Aneh. Asing.

Rasa-rasanya kayak lagi terdampar di planet asing. Trus ketemu sama alien-alien penghuni planet itu yang nyamar jadi orang-orang terdekat gue. Pertama, elo harus adaptasi sama lingkungan baru yang gak semudah waktu hidup di bumi dulu. Yang kedua, (yang menurut  gue paling menyakitkan) elo kudu 'kenalan' lagi dari awal sama orang-orang yang udah elo kenal. 

Mungkin masih mending elo terdampar di planet asing betulan, di mana elo gak kenal sama satu orang pun di dalamnya. Jadi elo harus mulai adaptasi secara perlahan tanpa ada ekspetasi kalo lo punya temen deket yang bisa lo ajak curhat pas lo lagi bener-bener penat dengan kondisi baru yang makin sulit.

Jujur, gue bener-bener over ekspektasi sama kondisi baru ini. Mungkin iya, gue sadar kalo setelah ini bakal lebih sulit dari yang sebelumnya. Tapi dengan orang-orang deket yang tetep ada di deket gue, sepertinya gue bisa ngadepin semuanya. Seenggaknya ada tempat buat nglepas penat. Sama mereka gue bisa ketawa lepas. Gue bisa seneng-seneng. Berbagi rasa. Nyatanya, gue kayak PV yang gak di hybrid sama PLN, gue stand-alone. 

Sejujurnya gue kecewa sama dia yang kmaren-kmaren bilang kalo dia sahabat gue. Yang kmaren-kmaren bilang, kalo gue ada apa-apa minta tolong aja sama dia. Tapi mana buktinya? Dia hilang. Yang gue lihat belakangan ini tuh cuma bayangannya aja. Gue bahkan gak kenal sama bayangan itu. Entah apa yang terjadi, tapi semakin lama, seakan-akan dia makin jauh, jauh, dan jauh sampai akhirnya gue gak bisa liat dia lagi.

Kalo memang dia juga lagi dalam masalah yang sama kayak gue, knapa dia gak crita? Apa sih susahnya crita? Toh, dulu kami juga senasib. Dulu juga dia bisa crita apa aja ke gue. Knapa sekarang enggak?

Ah, terserah lah. Yang jelas, gue harus tetep move-on. Gue harus tetep bisa strugle. Dan gue harus tetep bisa survive. Sekalipun gue harus 'ngesot-ngesot' buat ngraih semuanya.