Mencintai dengan Cara yang Berbeda

Ingatan saya tiba pada kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Surabaya. Bukan lagi sebagai pelancong, tapi sebagai imigran yang dalam waktu 4 tahun akan menetap di kota ini. Selama beberapa bulan di depan saya masih belum merasakan kerasnya hidup dikosan. Saya masih tinggal dengan kakek saya. Makan terjamin, semuanya terjamin.

September 2009. Itulah kali pertama saya merasakan hidup ala anak kost. Saya memang tidak benar-benar serius mencari kost-kostan saat itu. Bagi saya, mau kost di mana saja akan sama. Berbekal informasi dari sepupu jauh saya, saya pun mulai mendatangi kost yang akan saya tempati. Tidak menunggu waktu lama untuk mengiyakan bahwa saya akan tinggal di sini. Kebetulan dari kamar mandi dan fasilitas-fasilitas yang ada di sini cukup memadai. Jadi tidak masalah lah.

Minggu pertama di kost baru. Rasanya ingin sekali menangis. Bagaimana tidak. Saya lupa membawa alat makan, sedangkan saya belum tahu benar di mana saya harus mencari makan di sekitar kost saya. Saya juga belum kenal dengan penghuni lama kost ini. Untungnya saya masih punya roti. Selama seminggu saya hanya makan roti untuk sahur, dan mengandalkan ta'jil di mushola kampus untuk berbuka puasa. Setiap kali saya makan roti di pagi hari, saya selalu meratapinya. Tapi ada sebuah tekad besar dalam hati saya yang menguatkan saya agar bertahan lebih lama dengan penderitaan ini. Tidak lama hingga akhirnya saya bisa pulang dan mengambil beberapa kebutuhan lain untuk kost.

Saya juga ingat benar, saat itu orang tuan saya sudah jarang sekali menghubungi saya. Hanya mengirimkan sms sesekali yang menanyakan apakah saya sudah sholat dan makan. Berbeda sekali dengan teman sekamar saya atau teman-teman kost saya yang lain. Ibu mereka bahkan bisa menelpon mereka 3 kali sehari. Dan di sanalah mereka berkeluh kesah layaknya anak kecil yang baru saja kehilangan mainannya. Saya hanya bertanya, kenapa ibu saya tak pernah menelpon saya? Ah, biarlah. Toh ini yang saya inginkan, hidup bebas tanpa ada kekangan dari mereka.

Lebaran pertama sebagai anak kost. Cerita baru tentang bulan ramadhan, Para Pencari Ta'jil pun dimulai. Seru sekali menceritakan pengalaman ini pada saudara-saudara saya. Sampai akhirnya mereka bertanya pada saya,"Ayah dan ibumu apa sering ke kost?" Saya jawab tidak. Bahkan orang tua saya yang ada di dekat saya menambahkan seperti ini. "Buat apa datang ke sana? Harusnya ya anak yang datang ke orang tuanya, bukan sebaliknya. Kalau mau ketemu orang tuanya ya biar pulang. Tidak ada cerita dia kangen terus kami harus pergi ke Surabaya." Ah, sadis sekali mereka.

Semakin lama tinggal di kost, semakin jarang pula mereka menanyakan kabar saya. Mereka baru menanyakan kabar saya ketika saya tidak pulang lebih dari seminggu. Itupun hanya lewat sms. "Lapo mbak?" Just it.

Agustus 2010. Itulah pertama kalinya saya sakit. Saya hanya kelelahan. Sudah hampir 2 bulan saya sibuk merancang kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru. Mungkin saya terlalu memberikan hati saya pada kegiatan ini terlalu besar. Hingga saat ada sesuatu yang tidak beres, rasanya hati saya terluka. Seiring berjalannya waktu, semakin besar pula luka yang ada di hati saya. Mungkin itu yang menyebabkan saya jatuh sakit. Dalam sakit saya, saya bertanya dalam hati, kemana mereka? Kenapa mereka tak kunjung datang? Saya butuh mereka. Pikiran-pikiran itu yang akhirnya memperburuk kondisi saya. Baru setelah saya masuk ke UGD, mereka datang. Lamaaa sekali.

Dari dulu saya punya pikiran bahwa mereka berbeda. Mereka lebih sayang pada adik saya, dibanding pada saya yang susah sekali diatur. Mereka lebih bangga pada anak tetangga yang notabene lebih pintar dibanding terhadap anak sendiri. Saya iri. Dan saya pun mulai sering bertanya dalam hati. Kenapa mereka lebih mirip dengan orang tua tiri di sinetron-sinetron dibandingkan sebagai orang tua kandung? Benarah saya anak mereka?

Hijrah saya ke Surabaya akhirnya membuka mata saya tentang mereka. Pikiran saya mulai terbuka. Ibu saya memang jarang sekali menanyakan kabar pada saya. Tapi hatinya selalu menangis saat mendengar suara kereta api. Dia masih mengingat saya.

Selama ini, saya merasa saya bukanlah anak yang bisa dibanggakan. Saya hanya anak biasa bila dibandingkan dengan teman-teman saya yang lain. Tapi akhirnya saya tahu, sekecil apapun yang saya dapat. Mereka selalu bangga pada saya. Mereka hanya tidak menunjukkan itu.

Saat saya sakit, kenapa mereka begitu lama datang? Saya kesal dengan mereka yang tak kunjung datang. Akhirnya saya tau, mereka pun tak tenang berada di rumah saat itu. Mereka mengusahakan segala cara agar mereka bisa datang secepatnya.

Saat saya mulai hampir putus asa dengan kuliah S2 saya yang mulai menjadi-jadi. Saat ituah untuk pertama kalinya, ibu saya memeluk saya, membelai kepala saya, menguatkan saya.

Mereka mencintai saya dengan cara mereka sendiri. Terkadang saya merasa tak adil, kadang saya merasa semua begitu salah hingga saya selalu punya alasan untuk membenci cara mereka. Tapi itulah cara mereka mendidik saya. Itulah cara mereka mencintai lebih. Ketika saya jatuh, bukan uluran tangan yang mereka sodorkan, tapi dari jauh mereka mengajarkan saya untuk bangkit dengan sendirinya. Mereka bahkan rela menahan perasaan rindu mereka yang begitu besar pada saya, agar saya benar-benar bisa berjalan dengan kaki saya. Tidak semua keinginan saya mereka turuti. Tapi saya tau bahwa mereka selalu mengusahakan yang terbaik untuk saya.

Terima kasih untuk Ayah dan Ibu terhebat di dunia. Tak banyak yang bisa saya berikan untukmu berdua. Semoga Allah selalu memberi rahmat dan hidayah-Nya pada kalian berdua. Amin.
Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

Mbak udah bikin saya nangis di tulisan yg ini :") salam buat ayah ibu mbak lelly

Balas