Generasi Bebek & Manusia yang Seutuhnya


"Jangan hanya bisa jadi Generasi Bebek yang bisanya ikut-ikutan!"

Itulah kata-kata yang mungkin seringkali kita dengar ketika kita masih menjadi mahasiswa baru. Seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya usia dan pengetahuan akhirnya kita paham bahwa kata-kata itu yang akhirnya mendorong kita untuk berani menjadi diri sendiri, berani memilih di antara banyak pilihan, dan tentunya berani untuk tidak sekedar jadi Bebek.

Dalam suatu pelatihan, seorang pemateri menjelaskan tentang siapa itu manusia. Tuhan menciptakan kita sebagai manusia, makhluk yang paling sempurna. Punya sesuatu yang kompleks, yaitu otak dan hati. 

Manusia bukan iblis yang selalu membangkang dan melanggar perintah dan setiap aturan. Manusia juga bukan malaikat yang selalu tunduk. Manusia diciptakan untuk bisa memilih. Memilih untuk menjadi seseorang yang mendekati malaikat atau justru iblis. Manusia bisa memilih untuk menjadi baik atau jahat. Ya. Manusia selalu punya pilihan untuk itu.

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, dan seperti yang sudah kita ketahui bersama yang membuat manusia berbeda adalah karena manusia punya otak dan hati.

Lalu apa yang membedakan manusia dengan ayam, ikan, kambing, sapi, monyet, lumba-lumba, dll?
Hewan-hewan itu punya siklus dalam kesehariannya. Makan - Tidur. Beberapa hewan mungkin akan ditambah dengan sesuatu yang lain, tapi bila kita coba perhatikan apa yang mereka lakukan setiap hari sepanjang hidupnya cenderung sama. Lalu apa yang membedakan? Bila kita memang benar-benar manusia yang seutuhnya tentu dalam setiap hari yang telah Tuhan karuniakan kepada kita, kita selalu punya sesuatu yang beda, sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

Dengan segudang aktifitas yang kita lakukan setiap hari dari kita lahir hingga sekarang.
Sudahkah kita menjadi manusia yang seutuhnya?

Pertanyaan itu, dan beberapa penjelasan itu yang kemudian membuat saya berpikir.
Apa yang membedakan antara "generasi bebek" dan bukan?
Apakah orang-orang yang menyandang gelar "aktifis" sudah pasti terbebas dari judgment seperti itu?
Apakah yang hidupnya lempeng-lempeng aja, manut dengan semua aturan berhak dengan judgement tersebut?
Apakah "mahasiswa kupu-kupu" (kuliah pulang - kulai pulang.red) juga berhak dengan judgment tersebut?

Kalo memang benar demikian,
Apa yang membuat "sang aktifis" melakukan segala aktifitasnya? Ikut arus atau karna sebuah pilihan yang dia ambil?
Apa yang membuat "si penurut" dan "mahasiswa kupu-kupu" seperti itu? Karena arus atau sebuah pilihan yang dia ambil?

Kembali pada pertanyaan pertama, kalo begitu apa yang membedakan antara "generasi bebek" dan bukan?

Jawabnya..
Sebuah keberanian untuk memilih bukan sekedar menjadi follower tanpa tau kemana arah tujuannya.
Sebuah keberanian untuk menetapkan sebuah tujuan dan memilih jalan apa yang akan dia tempuh.
Sebuah karakter yang kuat yang tak bisa jatuh walau badai menerpa, yang tak hanyut walau arus mengalir begitu deras.

***

p.s: trima kasih buat Gigih Darma atas diskusinya semalam, ini hasilnya.


Previous
Next Post »
4 Komentar
avatar

Seseorang yg disebut aktivis sebenarnya org yg benar2 memiliki arah pasti disetiap aktivitasnya dan dia bisa mempertanggungjawabkannya dihadapan Tuhannya kelak. Tetapi organisatoris lah yang kecenderungan itu, karena itulah menyandang gelar aktivis itu sangat berat luar biasa. Keduanya terlihat dari luar sama, tetapi apa bila kita bisa mengamati dan peka bagaimana melihat langkah kinerja seorang aktivis dan organisatorislah jawaban orang tersebut Mbebeki apa tidak. That's all my opinion

Balas
avatar

saya rasa tidak semua aktifis benar2 memilih, tidak semua aktifis punya arah, dan tidak semua aktifis bebek. semua tergantung dari individu masing2. Bagaiamana dia menentukan pijakan hidupnya, menetapkan sebuah pilhan. organisatoris pun begitu. bahkan tidak hanya keduanya saja, tapi semua orang yang punya label di balik namanya juga perlu dipertanyakan apakah dia mbebek atau tidak.

yg penting itu yakin, berkata pada diri sendiri ketika memilih sesuatu.
"saya melakukan ini untuk ini, karena ini. bismillah.."
itu.

Balas
avatar

Mungkin bukan saatnya kita untuk mengejudge masing2 golongan, dikembalikan ke kesadaran masing2 saja untuk saling peduli dengan lingkungannya.


“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam“ (Q.S. al-Anbiyaa’ 21:107)
Ayat ini menjadi salah satu dasar ajaran bagaimana seharusnya seorang muslim berperilaku dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Tak hanya memberikan manfaat yang baik bagi sesama manusia tapi juga lingkungan sekitarnya.

Anas ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kami sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)


Semoga saya tidak dikatakan membebek pd AL-Quran & Hadist. Amiiin.
Trims :)

Balas
avatar

kalo yang itu mengikuti Al-Qur'an & Hadist itu sih sudah seharusnya. :)

Balas