Seorang Sahabat

Seorang Sahabat
Kuliah, kerja, tugas kuliah. Seakan-akan sudah jadi rutinitas harian yang tidak bisa lagi dihindari. Bahkan rasa-rasanya seperti minum obat aja. Tiga kali sehari. Jenuh. Bosan. Itulah yang dirasakan oleh beberapa orang di antara kami. Mungkin karena kami sudah terlalu lelah dengan rutinitas yang itu-itu saja.



Kondisi yang seperti itu yang akhirnya bikin kita jadi pengen punya temen yang bisa buat ngilangin semua rasa jenuh yang berputar-putar di otak. Dan akhirnya dia datang.

Dimulai dari chat tanya tentang materi di facebook, berlanjut jadi curhat masa lalu dan yang sekarang. Begitulah kami mulai dekat. Nyambung diajak ngobrol, asyik diajak becanda, asyik buat temen BBMan, dan masih banyak lagi. Gak ada yang salah dengan yang namanya berteman, kecuali pertemanan antara laki-laki dan perempuan.

Aku pribadi awalnya tidak terlalu memusingkannya. Toh, masing-masing dari kami juga sudah punya pasangan. Masing-masing dari kami tampak begitu nyaman dengan pasangan masing-masing. Tapi nyatanya mungkin orang lain yang tau cerita ini akan berpikiran lain. Kebanyakan orang bilang, kalo dia sudah mulai bosan dengan pacarnya dan mulai mencari selingan. Dan kebetulan aja ada aku yang memang nyambung diajak ngobrol dan becanda. Sempat juga aku berpikir seperti itu, dan khayalan-khayalan mengerikan tentang si pacar yang tiba-tiba marah ke aku mulai muncul. Gileee serem bener. Bukan masalah marahnya, tapi efek jangka panjang yang diakibatkan. Apalagi pacarnya itu temen satu angkatanku. Makin parno kalo inget itu.

Satu kali aku beranikan diri untuk bertanya. Ya. Itu karna ada hal di luar yang biasanya. Semakin tidak normal.

L: "Aku mau tanya."
B: "Tanya apa? Boleh aja. Tapi jangan ngeyel yaaa.. :D"
L: "Enggak kok."
B: "Janji yaa.."
L: "Iya. Janji."
B: "Tanya apa?"
L: "Cewekmu tau kalo kita deket. Aku gak enak aja. Kalo dia salah paham itu buntutnya panjang dan bikin horor kalo bayangin itu"
B: "Dia gatau. Aku bingung gmana bilangnya. Soalnya ntar pasti dia salah paham."
L: "Nah."
....

dan dilanjutkan pertanyaan lain tentang itu. Padahal awalnya kami lagi ngotot tentang kaderisasi maba. Gara-gara pertanyaan gak terduga itu, akhirnya yang tadi kami lupain trus bahas masalah tadi lebih serius lagi.

Sebenernya ada part paling bikin sedih tapi kalo diinget-inget jadinya kok alay. hahahahaha
Intinya di ujung bbm kami dia bilang kalo mungkin akan jaga jarak sama aku. Gak akan intens kayak sebelumnya, tanya cuma kalo ada perlunya aja. Gak telpon-telpon lagi juga.

Tapi gak ngerti kenapa kesannya kami jadi kayak orang yang abis putus. Sumpah alay. hahahha..

Dan semuanya tiba-tiba aja gak berlaku lagi. Kami tetep kayak biasanya. Dengan posisi yang beda dong yaaa. Pacar-pacar kami udah tau tentang ini. Jadi mungkin sedikit lebih lega.

Ketika ...

Ketika ...
Senja mulai terbenam. Berbeda dengan tempat tinggalku yang sebelumnya, di sini setelah malam tiba justru lebih ramai dibandingkan siang hari. Tentu saja, ketika malam mulai tiba jalan ini menjadi pusat kuliner khusus untuk mahasiswa-mahasiswa perantau. Mulai dari yang punya kantong kelas bawah, menengah, hingga atas. Semua tersaji di sini. Komplit.

Ramai, ramai, dan ramai. Bukan hanya di luar sana. Tapi juga batinku. Mereka mulai ramai dengan berbagai kekhawatiran, nama kerennya galau. Sudah cukup lama kami bersama, tapi ternyata waktu yang lama itu tak menjamin bagaimana satu sama lain mengungkapkan keinginannya. Bukan berarti tak pernah dicoba, tentu saja berkali-kali sudah dicoba, tapi akhirnya selalu saja sama. Unsolve. Bukan tak bisa, tapi tak mau. 

Aku? Aku adalah satu-satunya orang yang amat sangat ingin berteriak sekencang-kencangnya di sebelah telinganya. Agar dia benar-benar mau mendengar.

Senja ini, masalah itu menyeruak kembali. Aku yang memicunya. Bodoh sekali sebenarnya menanyakan hal yang sama berulang kali, padahal sebenarnya aku tau benar apa yang akan dia jawab. "Gak mau. Nanti aja kalau waktunya udah pas."

Bisa saja aku memperpanjangnya, "mau sampai kapan? Hah?". Ingiiiiin sekali aku mengatakannya, tapi kali ini aku memilih diam. Aku sudah tau apa yang akan terjadi. Bahkan aku sudah menyalahkan diriku dan memaafkannya bila akhirnya dia mengatakan hal yang begitu mengecewakan sekaligus mengkhawatirkan. Melupakan dan mengerjakan hal lain justru lebih baik dibanding harus memperpanjang situasi ini. Ya. Tentu saja karna aku hanya akan menyakiti diriku sendiri.

Ini memang tak seperti biasanya. Mungkin dia menyadari hal ini. Mulai mengolah kode-kode yang aku berikan padanya beberapa hari terakhir. Mulai memikirkan.

Bip.
From : Z. (+85673xxxxxxx)
kamu mau aku ke rumahmu? kamu pengen tak kenalin ke keluargaku?

To : Z. (+85673xxxxxxx)
iya

From : Z.(+85673xxxxxxx)
ayo pacaran yang bener yuk kalo gitu.. yang lebih baik :)

Sebenarnya aku tak terlalu mengerti maksudnya. Tapi dari apa yang bilang, sepertinya itu pertanda baik. Aku bisa merasakannya. Sekalipun aku tak mengerti, aku bahagia saat membacanya.  

NOVEMBER!!

NOVEMBER!!
Bukan hidup namanya kalau tidak ada kerikil-kerikil tajam yang bikin kaki perih. Baru september lalu kami dapat menyunggingkan senyum kami. Senyum kemenangan kami setelah berperang hebat dengan diri kami sendiri. Euforia itu ternyata hanya sesaat, karena esoknya. Ya, esoknya kami harus menghadapi kenyataan bahwa kami bukan lagi mahasiswa. Kami bukan lagi salah satu dari pelajar Indonesia. Tapi kami salah satu pengangguran yang memenuhi negeri ini dengan yaaah itulah, saya tak tahu harus menyebutnya apa.

Bagi beberapa yang sudah bekerja, atau sudah melanjutkan kuliah lagi, sesaat rasa lega itu ada. Bagi mereka, "setidaknya kami bukan pengangguran." Tapi bagi yang lain...

"Sedih bila melihat teman sendiri gagal. Tapi jauh lebih sedih ketika melihat teman jauh lebih sukses dari kita" 
 - 3 Idiots -

Pada kenyataannya memang begitu. Tapi sebenarnya hal yang menyakitkan itu tidak akan berhenti sampai di situ.

November, saya menyebutnya penghujung. Bukan benar-benar akhir memang, belum juga dititik puncak pula. Ini masih hampir.

Sebentar lagi, sebagian dari kami akan iri dengan kesuksesan teman kami yang ada di sana. Bukan karena level kami ada di bawahnya. Tapi kami bahkan belum sempat memulai permainan, kami masih ada di waiting list.

Sebentar lagi, tahun 2014, beberapa dari kami akan mengirimkan kabar-kabar gembiranya.
"Jangan lupa datang lo yaa.." | "Insya Allah." *sambil tersenyum pahit.
Macam-macam alasannya, mungkin karna belum ada calon ato bisa jadi karna belum bekerja. Itu pahit. Apalagi untuk wanita. Karna masa muda kami terbatas. Lebih pendek. Semakin dekat dengan angka limit itu pasti makin besar pula galaunya. Apalagi kalau udah reuni kampus atau sekolah. Ketika yang lain sudah bicara tentang keluarganya masing-masing, bercerita ngalor-ngidul tentang anak - suami/istrinya. Kami ....... (saya tidak bisa mengungkapkan bagaimana galaunya saat itu).

Haaah!!
Stop di situ dulu. Karna kalo dibayangkan akan jadi makin mengerikan.

Sebentar lagi. Ya sebentar lagi. 
Semoga kita diberi kekuatan untuk melihat dan mendengar kabar-kabar baik di sekitar kita. Semoga kita diberi hati yang lapang untuk bisa ikut bergembira bersama mereka. Semoga..


Tidak Tahu Diri!!

Tidak Tahu Diri!!
Baru baca blognya Safira Nur Hanifah tentang Kamu Aktifis Penuh Pemakluman
Kata-kata yang paling paling jleb itu..

“ Hari ini saya padat rapat. Capek. Jadi tidak ada waktu untuk menyelesaikan target tilawah” “ Hari ini saya full kuliah”. Bagus sekali dirimu ! Ibadahmu kamu beri waktu sisa. Kemudian kamu harap Allah memberi pertolongan dan memberimu kemudahan dan merealisasikan mimpimu?

Banyak tuntutan, tapi yang diberikan tidak sebanding dengan yang diminta. Itu namanya tidak tahu diri. Allah ngasih apa aja yang kita minta, tap yang kita lakukan untuk Allah jauh lebih sedikit dari apa yang kita terima. Itu namanya tidak tahu diri.

Tidak perlu menilai sekitar, cukup tengok diri sendiri saja. Tanyakan dengan lantang,"berapa banyak yang kamu terima dari Allah dan berapa banyak yang sudah kamu lakukan untuk-Nya?", "apakah saya cukup tau diri setelah menerima semuanya?"

(masih) Bermimpi

(masih) Bermimpi
Saya masih bermimpi untuk bisa naik pesawat dan pergi ke luar negeri. Ingiin sekali belajar banyak hal di luar sana, memandang negeri ini dari sudut pandang yang berbeda, kemudian kembali untuk melakukan hal yang lebih untuk negeri ini.

Untuk thesis saya kali ini, saya ingin mengerjakannya tidak hanya untuk cap emas bungkus coklat koin saja, tapi juga sebagai media yang mengantarkan saya untuk bisa keliling dunia. Mencicipi udara dari negara satu ke negara yang lain. Tak masalah walaupun hanya hitungan hari. Yang penting sudah keluar negeri. hehehe..


Sebuah Nama

Sebuah Nama
Beberapa hari ini saya silau dengan sebuah nama. Sebuah nama yang muncul bahkan sebelum saya selesai ketik di google search. Sebuah nama dengan prestasinya, dengan sopan santunnya, dengan semua hal dari dia yang begitu menginspirasi.

Hari ini pun sama dengan beberapa hari yang lalu, menyempatkan membaca catatan sejarahnya di tengah-tengah tumpukan tugas. Satu foto mengenai visualisasi mimpi-nya yang membuat saya tersadar akan satu hal.

Kenapa saya seperti ini? Dan kenapa dia bisa seperti itu?
Sebenarnya ini tentang sebuah pilihan yang diambil pada saat pertama kali saya menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Dan mungkin juga dia. Sebuah langkah awal yang akhirnya membuat saya memilih jalur ini dan dia di jalurnya.

Dia punya mimpi, begitu pun dengan saya.
Dia tuliskan mimpi-mimpinya, begitu pun dengan saya.
Dia sibuk mengejar mimpinya, begitu pun dengan saya.
Sampai akhirnya dia mulai meraih mimpi-mimpinya, begitu pun dengan saya.

Tidak ada yang salah dengan apa yang saya lakukan dan dia lakukan. Kami hanya punya jalur yang berbeda, pencapaian di bidang yang berbeda.

The Amazing Man, kamu memang punya buanyak prestasi. Kamu memang sudah menginspirasi banyak orang. Dan kali ini pun, secara tidak langsung kamu sudah mengajarkan pada saya tentang sebuah langkah awal dan konsistensi untuk bisa sampai pada mimpi-mimpi itu.