Sebuah Ingatan

"You may say I'm a dreamer. But I am NOT the only one," begitulah yang Pandji tuliskan dalam sebuah blog miliknya. Tulisan yang dipersembahkan kepada para relawan turuntangan. Dan entah kenapa tulisan itu mengingatkan saya pada suatu sore hujan lebat di depan Bank BNI Cabang ITS. Ingatan yang akhirnya mendorong saya untuk berhenti sejenak dengan proposal thesis yang sedang saya susun dan mulai menuliskan tulisan-tulisan ini.

Saat itu saya sedang bersama dengan kawan satu kampus saya, Rini namanya. Karena usianya yang lebih tua, saya biasa memanggilnya Mbak Rini. Saat itu saya bercerita tentang sebuah proses jatuh bangun yang sedang saya lalui. Dan saat itu, saya baru saya terjatuh dan seakan kehilangan segalanya yang sudah saya usahakan dari beberapa waktu sebelumnya. Saya masih ingat betul bagaimana dia berpesan,"kamu itu jangan terlalu ambisius Lel, jangan bermimpi terlalu tinggi, kalau gagal ntar kamu nangis loh."

Waktu itu rasanya seperti ditampar. Pikiran-pikiran lain masuk dalam otak saya, tapi saat itu saya hanya berkata,"dengan mimpi-mimpi ini aku merasa lebih hidup Mbak, aku punya tujuan hidup, aku tau kemana aku harus berjalan ataupun berlari."

"Ya tapi jangan terlalu gitu lah. Ntar sakit banget kalau ternyata gagal," begitu timpalnya, kemudian dia mulai bercerita sakit yang pernah dia rasakan ketika dia gagal dan akhirnya berhenti. Saya mendengarkannya dengan seksama. Batin saya pun mulai bergejolak. Haruskah saya berhenti saja? Haruskah saya menurunkan standart yang saya buat agar lebih realistis lagi? Saya tau betul di mana posisi saya dan di mana mimpi itu berada. Saya masih sangaaaat amat jauh dari sana. Bahkan sampai sekarang rasa-rasanya hampir tak mungkin untuk mencapainya. Saya tak punya cukup uang untuk mengambil shortcut dari perjalanan ini. Saya juga masih belum cukup pintar untuk mendapatkan golden ticket ke sana.

Selepas percakapan itu, otak dan hati saya mulai bergejolak. Apa yang harus saya lakukan? Benarkah yang selama ini saya lakukan? Sampai akhirnya saya mulai menyadari satu hal.
"Mungkin mimpi itu begitu mustahil untuk saya, mungkin juga saya harus benar-benar jatuh nanti hingga sakit yang luar biasa akan saya rasakan, mungkin saya akan merasa hampir putus asa, tapi saya memilih untuk terus berjalan dalam mimpi-mimpi yang sudah saya rajut. Biarlah Allah yang jadi penolong saya, yang membantu saya untuk bangkit kembali, yang menyembuhkan luka-luka saya ketika saya jatuh berkali-kali hingga sulit rasanya untuk berjalan kembali. Biarlah Allah yang menjadi pelipur lara saya, ketika saya tidak tau harus bercerita tentang pahitnya perjalanan ini atau bahagia ketika akhirnya kemudahan itu datang. Biarlah Allah saja, yang lain bisa datang dan pergi, tapi jangan yang satu itu."
Previous
Next Post »
0 Komentar