Antara Aku, Kamu dan Skripsi

       Suara rintik hujan berkejaran dengan jemariku yang terus-menerus menari di atas keyboard. Sesekali berhenti, berganti memainkan mouse, memburu bahan-bahan tulisan lain. Sesekali baik mouse, maupun jari-jari ini justru tak bergerak sama sekali. Yang ada hanya kening berkerut, otak dan mata seakan saling berkejaran memburu tulisan di layar monitor. Mencoba memahami satu persatu makna yang tertulis di sana. Kemudian kembali dengan finger dance di atas keyboard. Hal yang sama berulang-ulang dilakukan hampir tiap malam dalam 2 bulan terakhir.
       Suara rintik hujan sayup-sayup mulai menghilang. Malam ini cukup sampai hasil simulasi saja. Selebihnya aku masih belum tahu harus menulis apa lagi dalam skripsiku. Aku tahu, dosen pembimbingku pasti akan sangat amat tidak puas dengan progresku minggu ini. Tapi biarlah. Aku lelah.
       Kurebahkan badanku di atas kasur dan mulai menikmati curhatan Jason Mraz dilagunya yang berjudul I Want Give Up. Bang Jason Mraz, kita sehati.

I won’t give up on us 
Even the sky get rough
Giving you all my love
Still looking up
~ I Won’t Give Up : Jason Mraz ~


       Sepertinya Tuhan sedang ingin menaikkan levelku. Hingga aku harus dihadapkan pada masalah yang bertubi-tubi. Skripsi dan dia. Masalah skripsi saja sudah bikin aku ampun-ampun. Dan sekarang, dia malah ikut-ikutan menekanku dengan sikap-sikapnya. Pada masa-masa seperti ini, semua orang pasti butuh dukungan. Terutama dari orang-orang yang disayanginya. Aku pun benar-benar berharap itu darinya. Kalau pun dia tak bisa membantu banyak, kata-kata penyemangatnya darinya saja bagiku itu sudah bisa double booster untuk menaikkan semangat. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.
       Sudah beberapa hari ini kami tidak saling komunikasi. Jangankan bertatap muka, sms pun jarang sekali. Terakhir kali, saat makan siang di tempat favorit kami. Kami sempat ngobrol panjang lebar saat itu. Dari pembicaraan itu sebenarnya aku tahu kalau dia sudah ingin mengakhiri semuanya. Aku bisa saja menuruti apa maunya, seperti mantanku yang dulu. Tapi kali ini, aku ingin bertahan.

       “Kita coba evaluasi diri dulu,” kataku saat itu.

       Sebenarnya aku benar-benar berharap dia mau benar-benar intropeksi diri. Nyatanya, dia hanya ingin aku seperti apa yang dia mau. Sedangkan dia, dia justru malah semakin menjadi-jadi. Aku sudah benar-benar mencoba untuk sabar.
       Puncaknya, 3 hari yang lalu. Hari itu tiba-tiba aku jatuh sakit. Sepertinya maagku kambuh. Deadline skripsi dari dosen pembimbingku benar-benar menguras waktu hingga makan pun terlewat begitu saja. Tak heran kalau akhirnya maagku kambuh. Sebenarnya aku jarang sekali terserang maag, tapi sekali kambuh biasanya benar-benar parah hingga sulit untuk bernapas. Saat-saat seperti ini aku benar-benar butuh dia.

       “Terus kamu maunya gimana? Mau biarin sakitnya apa pengen cepet sembuh?” tanyanya.
       “Air putih,” jawabku
       “Itu ada warung. Ayo berdiri. Kita ke sana sama-sama,” perintahnya.

       Tuhan, apa dia benar-benar sudah menutup mata, telinga dan hatinya? Jangankan untuk jalan kaki, untuk duduk tegak saja aku tak mampu.

      “Ayo berdiri! Kamu mau minum nggak?” bentaknya.

       Tuhan, aku tak tahan. Dia pacarku. Kenapa sikapnya begitu dingin padaku? Bagaimana bisa memperlakukanku seperti itu, sedangkan teman-temanku saja saat maagku kambuh semua bingung mencarikanku air putih, memapahku, dan mengantarkanku pulang hingga sampai kost. Aku tahu kalau mungkin dia sudah tak lagi menyayangiku. Aku tahu, tapi tak bisakah dia tidak bersikap seperti itu?

      Kupejamkan mataku. Berharap ingatan yang menyakitkan itu bisa hilang. Berharap bahwa itu hanya mimpi buruk yang pernah datang.

Biip..

From: Zidan (+6285733xxxxxx)
“Besok ada waktu?”

To: Zidan (+6285733xxxxxx)
“Besok mungkin agak sibuk. Mau ambil data sama bimbingan. Ada apa?”

Biip..

From: Zidan (+6285733xxxxxx)
“Pengen ngajak kamu makan siang bareng. Bisa?”

To: Zidan (+6285733xxxxxx)
“Bisa. Jam 1 yaa.. :)”

       Acara makan siang kali ini benar-benar aneh. Entah kenapa dia jadi pendiam. Sikapnya yang tidak seperti biasa membuat jantungku berdebar-debar, “ada apa ini?” Mau tidak mau, firasat buruk itu muncul.

       “Menurut kamu, kita sekarang gimana?” tanyanya membuka pembicaraan.
       “Maksudnya gimana?” tanyaku.
       “Ya.. Apa kita benar-benar baik-baik aja dengan kondisi yang kayak gini?”

Jantungku berdebar semakin tak karuan. Tuhan, apa lagi ini?

       “Aku cuma ngerasa kalau sekarang kita udah gak kayak dulu lagi. Mungkin karena sama-sama sibuk kali ya? Hehehe..” jawabku sekenanya.

Dia terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu.

        “Kamu mikir apa?” tanyaku.
        “Enggak,” jawabnya.
       Hari ini dia benar-benar aneh. Tidak hanya sikap diamnya, kali ini dia bahkan tak berani menatap mataku. Tuhan, bila memang firasat ini benar. Tolong jangan sekarang. Tolong jangan pada saat-saat skripsi.

       “Kayaknya hubungan kita harus sampai di sini aja,” kata Zidan tiba-tiba.

Deg. Akhirnya, kata-kata itu terucap darinya.
       “Aku masih ingin bertahan. Aku tahu hubungan kita memang sudah tak sebaik dulu. Tapi aku masih percaya kalau semuanya masih bisa diperbaiki, termasuk rasa sayangmu yang sudah makin tipis,” aku benar-benar ingin menangis tapi aku tak mau memperlihatkan tangisku padanya.
       “Maaf. Aku nggak bisa.”
Previous
Next Post »
2 Komentar
avatar

serius, tak pikir based on true story lel klo g lihat labelnya hahaha :p

Balas