Suara Hati (5)


Aku terbiasa naik kereta untuk kembali ke tempat perantauanku, Surabaya.Tapi ada yang berbeda kali ini.
Aku tak pernah sebelum-sebelumnya memperhatikan orang-orang di sekitarku ketika aku kembali ke surabaya, tidak seperti hari ini.
Seperti biasa, dari Gubeng aku naik bemo T2 (kali ini tak ada yang bisa menjemputku, mereka yang biasanya menjemputku sedang sibuk dengan himpunan masing-masing). Aku duduk di kursi depan.
tak ada yang istimewa dari perjalanan itu, sampai aku melihat senyum mereka. Wajahnya lusuh karena sudah seharian bekerja. Letih? Jelas itu ada pada mereka.
Ku pandangi pak sopir yang duduk tepat di sampingku. Dia tengah bercanda gurau dengan kawan-kawannya. Tukang becak yang ada di sana pun ikut dalam guyonan itu.
Pikiranku melayang saat itu juga.
Bapak tukang becak yang ada di sana, bagaimana dengan hidup anda hari ini. Apakah penghasilan hari ini cukup untuk makan anak dan istri bapak hari ini?
Bapak sopir, sudah berapa lama Anda bekerja seperti ini? Uang yang Anda simpan di laci bemo itu, itukah penghasilan bersih yang Anda dapat hari ini? Atau jangan-jangan itu masih harus dipotong dengan setoran yang harus Anda setorkan hari ini.
Bapak pembawa galon, mungkin benar kata pak sopir, air itu belum tentu bersih, bisa jadi itu air kali. Kenapa bapak tetap membelinya? Apakah hanya air itu yang mampu bapak beli.

Ya Allah.. terima kasih telah menunjukkan satu sisi kehidupan. aku, hidupku, hidup yang telah Engkau berikan padaku, betapa aku beruntung masih bisa seperti sekarang ini. permasalahan-permasalahan yang ada padaku belakangan ini. bila dibandingkan dengan mereka itu, aku jauj jauh jauh lebih beruntung.
Ya Allah, bila mereka yang mengalami kegetiran hidup yang lebih dari aku saja masih sanggup untuk tersenyum bahagia. Kenapa aku tidak? Kenapa hanya dengan masalah seperti ini saja aku merasa kehilangan segalanya?
Ya Allah, terima kasih telah menunjukkan segalanya padaku.
Previous
Next Post »
0 Komentar