Hidup dalam Goa

Jika Anda sekarang membayangkan saat ini aku lagi benar-benar berusaha buat survive di goa yang gelap, sempit, dan lembab. U're wrong guys. Aku masih bisa menikmati oksigen di alam dengan bebas. Aku masih bisa melihat mentari yang mulai meninggi di bangun pagi keduaku. Dan tentunya aku masih bisa melihat mentari yang mulai tergeser di tengah-tengah kesibukanku. Secara nyata memang aku tidak benar-benar tinggal di goa. Tapi ketika Anda mulai berusaha menutup mata dan telinga dengan kondisi sekitar Anda, saat itulah kegelapan ada. Mengungkung Anda, dan seakan-akan Anda sedang berada di dalam goa yang gelap, dingin, sempit, dan lembab.

Ya. Aku akui saja aku sudah mulai meninggalkan rutinitas yang dari dulu aku geluti. Organisasi. Bahkan sesuatu yang dari dulu sangat amat aku utamakan aku sudah tak peduli lagi. Beberapa dari adik tingkatku masih menghubungiku. Tepatnya MENGUNDANG untuk bisa hadir dalam salah satu forum mereka. Mereka berharap banyak padaku. Tidak, tepatnya mereka berharap mendapat "omelan" yang biasa aku berikan. Sebenernya aku sangat amat tidak suka dengan kata-kata yang merajalela di kampus kami ketika kami beranjak menjadi "mahasiswa tua". "iki wes guduk wayahku". Aku benci mendengarnya, dan aku benci bila harus menjadi salah satu bagian darinya. Bagiku, apa salahnya sih berbuat lebih untuk mereka? Toh, dulu aku bisa begini juga karna mereka. Apa salahnya sih memperbaiki yang salah? Toh, dulu aku diselamatkan dari yang salah itu. Berdalil kesibukan yang makin padat, aku menolak semua UNDANGAN itu. Sebenarnya, aku hanya tak nyaman berdiri sendiri sebagai orang yang paling tua. Kenapa? Karna akhirnya, I'm the only one yang BENAR. PADAHAL I'm not the only one. 

Dan karna aku bukan orang yang bisa duduk diam dan melihat. Mencoba menahan diri, melihat situasi yang ada, memberikan kesempatan kepada yang muda untuk mengembangkan diri, sebelum akhirnya dibenahkan. Aku memilih lebih baik tidak hadir.

Betapa pengecutnya bukan?
Ya. Ini adalah pengakuan dosa. Aku dekat. Tapi aku menutup diri. Membatasi diri untuk tidak dekat dengan mereka.

Sampai otbond pun aku tak tau apa yang terjadi di sana. Beberapa dari mereka yang hadir marah-marah. Panitia? Galau bukan makin. Ada apa? Aku dekat dengan mereka, sangat dekat. Tapi kondisi mereka pun aku tak tau. Benar-benar seperti terkungkung dalam gua bukan?

Bukan hanya itu sebenarnya. Seorang pernah berkata padaku,"apa salahnya kamu tahu hal-hal yang tidak menarik untukmu. Tentang agama lain, tentang politik, tentang ekonomi, tentang negara. Apa salahnya? Kamu lo cuma tau dan mau tau tentang ormawa dan teknologi. Selain itu? Kamu bahkan gak peduli." Dan itu benar, sodara-sodara. Salah? Tentu saja salah, Itu sama saja dengan membuat pagar untuk tidak terlalu jauh dari track yang seharusnya. Padahal, apa salahnya keluar dari jalur? Gak salah. Sama sekali tidak salah. Bahkan mungkin aku bisa mendapatkan inspirasi dari sana.

Hah, kenapa aku ini? Bisa jadi aku bukan hidup di dalam gua. Karna mereka yang hidup dalam gua pun pasti akan punya usaha untuk keluar. Mungkin ini yang paling tepat. Hatiku sudah mati, mataku sudah buta, dan telingaku tak dapat mendengar. Hingga rasa peduliku mati. Yang aku tau, dan aku pedulikan hanya diriku sendiri. Orang macam apa aku ini? Bagaimana aku bisa berbuat banyak untuk negaraku bila untuk orang-orang yang paling dekat saja aku tak bisa. Miris.
Previous
Next Post »
0 Komentar